moonlamps.net – Di era digital, media sosial menjadi ladang subur bagi serangan siber, terutama melalui rekayasa sosial. Rekayasa sosial adalah teknik manipulasi psikologis yang digunakan peretas untuk menipu pengguna agar mengungkap informasi sensitif, seperti kata sandi atau data bank. Berbeda dengan serangan teknis, metode ini mengeksploitasi kelemahan manusia, bukan sistem.
Sebagai pengamat keamanan siber, saya sering melihat kasus di mana peretas menyamar sebagai teman, influencer, atau akun resmi perusahaan di platform seperti Instagram atau WhatsApp. Mereka mengirim pesan yang tampak meyakinkan, seperti undangan giveaway atau peringatan akun diretas, untuk memancing korban mengklik tautan berbahaya. Tautan ini sering mengarahkan ke situs palsu yang mencuri data atau menginstal malware.
Studi global menunjukkan bahwa 80% serangan siber dimulai dari rekayasa sosial, dengan media sosial sebagai kanal utama. Di Indonesia, kasus penipuan berkedok promo sering menargetkan pengguna yang kurang waspada. Faktor seperti kurangnya literasi digital dan kebiasaan berbagi informasi pribadi di media sosial memperburuk risiko.
Untuk melindungi diri, pengguna harus selalu memverifikasi identitas pengirim pesan, menghindari tautan mencurigakan, dan mengaktifkan autentikasi dua faktor. Penting juga untuk tidak membagikan data sensitif, seperti OTP atau nomor rekening, meski pengirim tampak terpercaya. Edukasi digital adalah kunci untuk mengurangi risiko. Dengan kewaspadaan, kita bisa menikmati media sosial tanpa menjadi korban manipulasi peretas.